Pembahasan Tugas

Propaganda dalam Komunikasi

Pendahuluan

Komunikasi merupakan cara di mana seseorang dapat berinteraksi kepada sesama manusia baik secara individu maupun secara berkelompok. Sejarah komunikasi pada masa lampau menggunakan alat-alat yang terbuat dari alam ataupun penggunaannya menggunakan sarana dari alam, sebagai contoh para suku Indian menggunakan asap untuk memberitahukan pesan, di Indonesia sendiri pun dahulu menggunakan alat yang terbuat dari bambu untuk memberitahukan tanda bahaya.

berkembangnya komunikasi terjadi dikarenakan kebutuhan komunikasi pada perang dunia. dimana saat itu negara-negara membutuhkan sarana dalam berkomunikasi. Adapun dengan konteks tema diatas mengacu pada perkembangan ilmu komunikasi di Amerika – yang dibedakan dengan perkembangan ilmu komunikasi di Eropa Barat dan juga perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Latin ataupun India yang memiliki ciri perkembangan khas – terutama dengan bertumpu pada pengembangan metode propaganda sebagai hasil penting dari dua perang dunia (1914-1918 dan 1939-1945) dengan dua tokoh utama Harold Lasswell dan Walter Lippman.

sedikit dipaparkan bagaimana propaganda dilakukan di Indonesia oleh kelompok yang menginginkan kejatuhan Sukarno pada tahun 1965/66, dengan menjalankan proyek kudeta sembari melempar berbagai tudingan ke pihak-pihak lain. Bagian ini hendak menunjuk pada penerapan metode propaganda terutama dari kepentingan ilmu komunikasi Amerika dalam proses transisi politik tahun 1965/66 tersebut.

Lasswell, Lippman & Teori Propaganda

Diktum Lasswell akan selalu diingat oleh mereka yang pernah sedikit belajar ilmu politik atau ilmu komunikasi – karena sesungguhnya Harold Lasswell adalah ilmuwan politik-; “Who says what, to whom, to which channel and with what effect.” Inilah diktum yang akan selalu diingat sebagai suatu model teori komunikasi yang linier, yang ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek yang ia lakukan sepanjang masa perang dunia pertama dan kedua.

Pada tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul “Propaganda Technique in the World War,” yang menyebutkan sejumlah program propaganda yang bervariasi mulai dari konsep sebagai strategi komunikasi politik, psikologi audiens, dan manipulasi simbol yang diambil dari teknis propaganda yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika.

Sebenarnya kata propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang berasal dari bahasa Latin “to sow” yang secara etimologi berarti: “menyebarluaskan atau mengusulkan suatu ide” (to disseminate or propagate an idea). Namun dalam perkembangannya, kata ini berubah dan mengandung konotasi negatif yaitu pesan propaganda dianggap tidak jujur, manipulatif, dan juga mencuci otak.

Pada perkembangan awal ilmu komunikasi, propaganda menjadi topik yang paling penting dibahas pada masa itu, namun anehnya, setelah tahun 1940-an, analisis propaganda ini menghilang dari khasanah ilmu-ilmu sosial di Amerika. Sebagai penggantinya muncullah istilah seperti komunikasi massa (mass communication) atau penelitian komunikasi (communication research), menggantikan istilah propaganda atau opini publik untuk menjelaskan pekerjaan peneliti komunikasi.

Lasswell sendiri memberikan definisi atas propaganda sebagai “manajemen dari tingkah laku kolektif dengan cara memanipulasi sejumlah simbol signifikan”. Untuknya definisi ini tidak mengandung nilai baik atau buruk, dan penilaiannya sangat bergantung pada sudut pandang orang yang menggunakannya.

Sementara itu ahli lain (Petty & Cacioppo, 1981) menyebut propaganda sebagai usaha “untuk mengubah pandangan orang lain sesuai yang diinginkan seseorang atau juga dengan merusak pandangan yang bertentangan dengannya.”

Lasswell juga terlibat dalam proyek perang dunia II, dengan melakukan analisa isi terhadap pesan-pesan propaganda yang dilakukan oleh pihak sekutu. Dengan analisa tersebut, Lasswell bermaksud meningkatkan kemampuan dan metodologi propaganda yang dilakukan pada masa itu. Dengan kata lain, Lasswell tak cuma menganalisa propaganda tapi ia juga menciptakan propaganda lain, menghasilkan para murid yang ahli propaganda untuk membantu pemerintah Amerika dalam mengembangkan propaganda dan program intelejen dari pemerintah.

Sementara itu, tokoh lain yang mengembangkan metode propaganda adalah Walter Lippman, yang juga membuat fondasi awal teori propaganda dari bukunya yang kemudian menjadi buku teks book berbagai universitas beberapa dekade kemudian, Public Opinion (1922) dan The Phantom Public (1925). Lippman menulis kedua bukunya berdasarkan pengalamannya sebagai kepala penulis dan editor untuk leaflet bagi kepentingan unit propaganda Amerika.

Lippman dalam bukunya mengambil contoh apa yang dilakukan oleh tentara Perancis dalam perang melawan Inggris pada masa PD I, yaitu Perancis tiap minggu mengumumkan penghitungannya atas jumlah korban yang jatuh di pihak Jerman, dan tiap minggu jumlahnya bertambah dalam skala ratusan ribu; 300.000, 400.000, 500.000 dan seterusnya. Tentu saja ini merupakan disinformasi yang dilakukan oleh Perancis dan menurut Lippman, hal ini merupakan bagian dari propaganda.

Lippman mengemukakan tesisnya soal propaganda ini: “Bila sekelompok orang dapat menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa memunculkan berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah di situ ada propaganda”. Lebih lanjut ia mengatakan: “Untuk menghasilkan suatu propaganda, haruslah ada hambatan antara publik dengan peristiwa yang terjadi.”

Rogers kemudian mengomentari, semasa perang terjadi, pengelola propaganda dari pemerintah menjadi pengatur lalulintas berita tentang peristiwa-peristiwa penting, dan untuk Lippman propaganda kemudian dimengerti sebagai situasi dimana arus komunikasi menjadi terbatas dan ada sekelompok orang yang berkeinginan untuk mendistorsi berita.

Buat Lippman, komunikasi massa adalah sumber utama dari krisis dunia modern dan komunikasi adalah instrumen yang diperlukan untuk mengelola apapun secara elitis. Menurutnya lagi, ilmu-ilmu sosial menawarkan alat yang bisa membuat administrasi struktur social macam apapun yang tidak stabil menjadi lebih rasional dan efektif.

Lippman percaya, propaganda adalah satu alat untuk melakukan mobilisasi massa yang lebih murah daripada terjadinya kekerasan, penyogokan atau cara-cara kontrol lainnya. Dalam artikel lainnya pada tahun 1933, Lasswell pun menambahkan preposisinya, bahwa pengelolaan masalah sosial dan politik yang baik seringkali tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda dan penggunaan paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming-iming ekonomi, negosiasi diplomatis dan teknik-teknik lainnya.

Propaganda di Indonesia

Metode Propaganda dipergunakan untuk menjungkalkan Sukarno pada tahun 1965/6, sebagai bagian dari konspirasi Angkatan Darat dan CIA. Hal ini merupakan sekedar ilustrasi tentang bagaimana beroperasinya metode Propaganda yang kemudian diadopsi oleh Negara Orde Baru dan kelompok bisnis untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan dan glorifikasi industri-industri baru di Indonesia.

Saskia Wieringa ketika menulis studinya soal Gerwani43 pada tahun 1965 menunjukkan dengan rinci, bagaimana proses propaganda dilakukan oleh pihak Angkatan Darat untuk memanipulasi dan mendiskreditkan PKI, dan organisasi lain seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani, sebagai pelaku pembunuhan para jendral.

Propaganda yang dilakukan oleh kelompok Angkatan Darat, memang sangat efektif. Terbukti setelah mereka menguasai kembali Radio Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1965 senjahari, sebelumnya mereka pun telah menebar jaringan Koran atas nama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha di berbagai kota di Indonesia, dengan menerbitkan kedua Koran tersebut dengan berbagai edisi, misalnya edisi Jawa Barat, Jawa Timur, edisi Sumatera, edisi bahasa Inggris, dan bahasa Cina.

CIA punya peran penting di balik propaganda untuk menjatuhkan Sukarno, buktinya menjadi makin jelas dari hari ke hari. Dengan membaca artikel yang ditulis oleh Maruli Tobing, wartawan harian Kompas, terlihat makin jelas beberapa bukti keterlibatan CIA, terutama dari sisi bagaimana suatu propaganda dilakukan.

Dengan mengutip Roland G. Simbulan, seorang professor dari University of Philippines, disebutkan bahwa pada tahun 1965, ada suatu pemancar radio yang sangat kuat, yang bernama Suara Indonesia Bebas, yang getol melancarkan propaganda untuk memberontak dari Sukarno, yang kekuatan pemancarnya bisa ditangkap oleh seluruh radio gelombang pendek di Indonesia, dan sumber pemancar itu ada di markas Jendral Soeharto, yang diangkut lewat sebuah pesawat pengangkut US Air Force C-130 atas perintah langsung dari William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Timur Jauh.

Dengan mengutip Peter Dale Scott, juga digambarkan bagaimana trik disinformasi CIA yang begitu canggih menimbulkan ketegangan yang luar biasa, khususnya antara PKI dan kelompok Jendral Nasution, misalnya, dengan memproduksi berbagai leaflet atau pamflet. Ralph McGehee, anggota CIA dari bagian Counterintelligence seksi Komunisme International, juga menyebut bahwa proses eskalasi disinformasi secara sistematis telah dilakukan CIA di Indonesia pada tahun-tahun krusial tersebut.

Proses disinformasi merupakan ‘prosedur baku dalam operasi rahasia CIA’, terutama untuk negara-negara yang pemimpin atau kelompok politiknya dianggap menghalangi kepentingan Amerika, di antaranya adalah Presiden Arbenz di Guatemala tahun 1954, Sukarno di Indonesia tahun 1965-66, Allende di Chile tahun 1973, Juan Torres di Bolivia tahun 1971, Arosemana di Dominika tahun 1963, dan Joao Goulart di Brasil tahun 1964.

Propaganda yang dilakukan pada awal Orde Baru ini, kemudian diadopsi oleh

institusi Negara dan kemudian dikembangkan dalam suatu paradigma baru, paradigma pembangunan ekonomi atau juga bisa disebut sebagai paradigma modernisasi. Berbagai program pemerintah dilakukan dengan cara propaganda, mulai dari soal trilogy pembangunan, kampanye keluarga berencana, pemasyarakatan pancasila ala Orde Baru, dibuatnya institusi-institusi pendukung propaganda ini, misalnya BP7 dan kemudian penerapannya dalam berbagai program pendidikan formal, pembuatan film-film yang menggaungkan kemenangan tentara dan jasa-jasa mereka di masa lalu.

Dan para pendukung proyek propaganda negara ini, sebagian adalah sarjana-sarjana komunikasi yang kemudian menjadi birokrat negara, karena sebagian dari mereka percaya bahwa program komunikasi pembangunan terutama harus diterapkan lewat jaring-jaring birokrasi yang ada.

Sementara itu di kalangan kelompok bisnis, terutama misalnya industri periklanan dan juga industri public relations, metode propaganda juga dipakai untuk kepentingan mengkampanyekan berbagai produk konsumtif kepada masyarakat lewat iklan-iklan yang diproduksi di berbagai media. Angka belanja iklan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan dan para perusahaan iklan dan humas internasional pun perlahan-lahan masuk ke Indonesia yang dianggap sebagai “sebuah pasar yang luas dan (pernah) dianggap sebagai salah satu negara industri baru di Asia”.

Noam Chomsky, menulis, “State propaganda, when supported by the educated classes and when no deviation is permitted from it, can have a big effect.” Chomsky mengutip Walter Lippman yang berpendapat bahwa demokrasi yang berjalan dengan baik mengandaikan adanya suatu kelas dalam masyarakat yang memiliki fungsi yang aktif dalam menjalankan berbagai hal, dan mereka merupakan kelas yang khusus (specializes class), yang melakukan analisa, mengeksekusi, memutuskan kebijakan dan menjalankan sistem politik, ekonomi dan ideologi.

Buat Chomsky, ada pertanyaan implisit atas bagaimana kelompok kelas khusus ini mencapai posisinya, dan saat dimana mereka menjadi kelompok yang memutuskan kebijakan publik. Jawabannya, cara mereka untuk sampai pada posisi tersebut adalah dengan melakukan politik kekuasaan. Pun kalau mereka tidak menguasai keahlian khusus, mereka tidak akan menjadi anggota kelas khusus tersebut, dan mereka juga harus merupakan kelompok yang telah mengalami indoktrinasi yang dalam tentang nilai-nilai dan kepentingan dari kelompok bisnis atau negara yang mereka wakili.

Menurut Chomsky, Perkembangan industri PR di Amerika bertujuan untuk “mengontrol pikiran publik” seperti yang dikemukakan oleh para pemimpin bisnis ini. Mereka belajar banyak dari sukses yang diraih oleh Komisi Creel dan sukses untuk menakut-nakuti bahaya Merah/komunis dan kelanjutannya. Industri PR Amerika berkembang pesat pada tahun 1920-an dalam menciptakan subordinasi total kepada masyarakat demi kepentingan bisnis.

Penutup

Bisa kita lihat perkembangan komunikasi yang sangat intensif, khususnya di Indonesia, merupakan salah satu bentuk manufer-manufer dalam Ilmu komunikasi  dimana perkembangannya bisa kita lihat saat ini.

Semoga tulisan saya disini bisa bermanfaat bagi yang membacanya, adapun di dalam tulisan ini terdapat kata-kata yang menyinggung perasaan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan tulisan ini hanya semata-mata untuk mengerjakan tugas dari Dosen.

Demikianlah tugas ini saya buat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih…

Tinggalkan komentar